Sabtu, 19 Mei 2018

Kota Pencakar Langit




Ketika pagi menyapa suara itu terdengar lagi dan membuat ku terbangun membuka mata, Suara itu begitu indah tanda bahwa manusia masih mempunyai Tuhan di atas keserakahannya. Aku merasa seluruh tubuh ku Terasa sakit, lalu Ku dengarkan suara itu lagi dan beranjak dari tempat ku tertidur, lama-lama suara itu terdengar seperti seorang anak manusia yang sedang berdo’a memohon pertolongan dari sang maha pencipta. 


Ku dengar lagi suara itu di balik tembok yang retak, kali ini seperti tangisan dan rintihan seoarang anak manusia. 
 “apa .. apa yang terjadi ? mengapa begini ?.. ada apa dengan kota ku .. tak ada awan mengapa langitnya gelap ? “ Tanya ku dalam hati . lalu ku tatap setiap sudut kota ini tak ada lagi warna dan cahaya, kota ini seperti mati. Ku sentuh tembok bangunan itu ternyata semuanya sudah hampir menjadi debu. Ku lihat air mata jatuh membasahi pipi seorang anak manusia di bawah pelukan ibu dan ayah nya. Aku mendekatinya dan bertanya . 
 “Ada apa ? apa yang terjadi? mengapa ?” Ucapku sambil menatap mata nya yang basah karena menangis. Anak itu balik menatap ku, dia ingin mengatakan sesuatu bibirnya mulai bergetar namun ia tak sanggup dan hanya bisa menangis. Ku genggam tangan yang kecil dan dingin, anak itu berdiri memelukku dan menangis.

Pagi itu seperti biasa aku mengelilingi kota di temani sepeda tua ini, angin nya sejuk walaupun tak sesejuk angin dahulu. Terik matahari membuat kulit ku rasanya terbakar walau masih pagi. Tapi itu tidak membuat semangat ku pupus untuk terus mengayuh sepeda tua ini agar bisa mengantarkan surat kabar ke rumah-rumah mewah itu. Ia namaku Andy umur ku 18 Tahun aku sudah bekerja menjadi pengantar koran dari 5 Tahun yang lalu setelah di tinggal sendirian oleh ayah dan ibu ku karena sakit. Aku selalu ingat bagaimana dulunya tempat ini tanah yang subur, pohon yang besar, air yang bersih, dan bukit tinggi tempat biasa aku bermain bersama kawan-kawan ku, rumah yang tak mewah namun asri, kendaraaan yang sederhana, keluarga yang bahagia dan matahari yang sinarnya bisa aku rasakan ketika datang dan perginya.

Hari telah berlalu zaman telah berubah, banyak pendatang ke kota ini , mereka bilang kepadaku dan para penghuni tempat ini. Mereka akan membangun tempat ini menjadi sebuah kota yang mewah, sebuah kota yang hidup, sebuah kota yang terus bersinar walaupun dalam malam yang gelap gulita. Mereka akan membangun gedung-gedung yang menjulang tinggi untuk bisa menggapai langit. Siapa yang tidak mau tempat tinggalnya di bangun menjadi kota yang indah dan mewah, tanpa pikir panjang kami pun setuju dengan apa yang mereka katakan, kami pun menggoreskan tinta di atas materai beralaskan selembar kertas. Mereka memberi kami uang yang sangat banyak, masih ku ingat suara tepuk tangan yang meriah tanda kebahagiaan dan senyuman licik dari para pendatang waktu itu.

Esoknya ada kendaraan berat di tempat ini, mereka merubuhkan pohon-pohon besar, meratakan bukit dan rumah-rumah kami. Aku mendengar tangisan dan jeritan para penghuni tempat ini, mereka memohon agar tempat ini tidak di hancurkan tapi para pendatang itu tidak peduli. Akhirnya Satu persatu penghuni tempat itu pergi berbekal uang yang mereka berikan, hanya keluarga ku yang tetap bertahan di tempat ini. Bukan kami tidak ingin pergi, tapi kami hanya ingin melihat seindah apa kota yang bisa mencakar langit. Waktu terus berlalu aku tersingkirkan dari kota itu, ada tembok tinggi yang menghalangi ku untuk masuk ke sana. Hidup kami semakin sulit tidak ada makanan, air bersih, tanah yang subur dan udaranya menjadi kotor. Ayah dan ibu ku sakit keras aku tak punya uang sedikitpun, Tidak ku temukan obat alami dan tidak ada orang yang ingin membantu.

Hari itu genap sudah umurku 13 tahun mimpi buruk itu terjadi aku melihat ayah dan ibu ku sudah tidak bernyawa. Aku terdiam meneteskan air mata dan memeluk mereka dengan erat dan menangis sejadi-jadinya. 
 “Apa ... kenapaa ?.. Mengapa harus aku yang merasakannya”. Setelah hari itu aku bertekad untuk bisa masuk kedalam kota itu, aku membawa sepeda tua peninggalan ayahku. Ku kayuh sepeda itu dan aku bertemu sebuah keluarga kecil yang membantu ku hidup di kota ini, mereka adalah keluarga penjual koran yang terdiri dari seorang ayah ibu dan seorang anak perempuan berumur 5 Tahun. mereka menyuruh ku mengantar koran ke setiap rumah di pagi hari. Satu hal yang tidak pernah aku mengerti sampai saat ini dengan para pendatang itu, mereka hanya pendatang tapi berkuasa atas kota ini, mereka bukan sang pencipta tapi mereka mengubah kota ini. Mereka membuat kota ini menjadi sangat indah tapi aku tak merasakan kebahagiaan di kota ini, Benar kota ini bersinar cahayanya sangat indah ketika malam dan benar gedung itu tinggi tapi mengapa aku tidak bisa melihat matahari. Kota ini kesepian tanpa senyuman penghuninya dan sejak saat itu aku selalu berdo’a kepada tuhan untuk mengembalikan sebuah senyuman di tempat ini.

Malam itu hujan turun ku rasakan bumi sedang menangis gemuruh nya seperti amarah, aku pun mencoba menutup mata yang lelah di lantai beralaskan surat kabar yang sudah tidak terpakai. Aku merasakan dingin nya malam yang membuat seluruh tubuh ku hampir beku, lalu ada sebuah getaran dahsyat terasa begitu nyata dan ketika pagi datang ku lihat gedung tinggi itu sudah ambruk kebawah dan kota pencakar langit ini benar-benar hancur tidak ada yang tersisa, terdengar banyak suara tangis sama seperti 5 tahun lalu. Kota ini terlihat selalu bersinar namun kegelapan menyelimutinya, terlihat indah namun kehancuran menjemputnya. Getaran itu membumi hanguskan kota ini, Ku peluk putri kecil yang sedang menangis seorang diri. Aku berharap mereka yang selanjutnya membangun kota ini tak sama seperti kami terdahulu, yang berpura-pura menjadi tuhan atas segala nikmat dan karunia-nya. jaga lah semua hal yang berarti dalam hidup ini, jangan biarkan pergi karena kita pasti akan merindukannya ketika sudah hilang. Ku tatap langit dan ku pejamkan mata. 
 “Tuhan benar dia tunjukan kuasanya kepada manusia serakah ini. Tuhan bisa melakukan segalanya, tapi manusia hanya bisa melakukan semampunya. Terimakasih Tuhan kau telah mengembalikan senyuman penghuni di tempat ini”.

(Tasem Sumarni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aku tidak melatih mahasiswaku menulis lamaran pekerjaan, tapi akan ku latih mereka menulis menciptakan suatu karya untuk membuka lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri. -Mickey Oxcygentri